Semenjak kantornya pindah ke gedung berupa mall, gadis itu tak lagi menikmati sajian langit. Ia tak tahu pergantian suasana langit, hingga waktunya pulang. Suara teman akrabnya pun--sang hujan--tak lagi terdengar. Teredam tembok kokoh mall tersebut. Tak lagi ia dapat menikmati petrichor apalagi berbincang mesra dengan sang hujan. Maka, saat ia menemui hujan di kotanya, betapa berbahagianya ia. Disapanya dengan semangat sahabat lama yang sudah jarang bersua.
"Hai, aku rindu."
Belum sempat hujan menjawab, gadis sudah melanjutkan celotehnya.
"Ada banyak hal yang ingin kuceritakan padamu. Ada banyak hal yang terjadi selama kita tak bertemu. Ada banyak hal yang kurenungkan, kusadari, dan kuputuskan. Kembali aku diuji dengan keputusan-keputusan cepat dan tepat. Tanpa memikirkan egoku. Tanpa mencari pembenaran. Pada hal-hal yang kusukai, aku mulai mencari-cari hal buruknya. Pada hal-hal yang tidak aku sukai, aku mulai membayangkan hal-hal baik tentangnya. Begitulah."
Hujan paham. Kawannya sedang butuh telinga. Cukup dengarkan saja. Ini adalah pembicaraan monolog. Ia hanya menjadi saksi. Bahkan tak heran, bila temannya asyik mencerocos hingga lega perasaannya, tanpa memerlukan pendapat hujan.
"Kautahu, terkadang menjadi bungsu perempuan tak pernah kuinginkan. Berkali mereka mengingatkanku bahwa aku adalah penjaga rumah, mama dan kakakku yang luar biasa. Terlebih karena aku masih sendiri, belum menikah. Masalahku belumlah pelik, kata mereka. Dulu, aku keras kepala. Menertawakan kata-kata mereka. Merasa bahwa orang tua, keluargaku tak seperti anggapan mereka. Aku tetap akan bebas, tak peduli aku bungsu, wanita, dan belum menikah. Hingga kusadari, saat lelaki itu datang dan menawarkan kehidupan baru di tanah baru. Tanah yang belum pernah kujejak dan kukenali. Keluargaku memang tak menolak tegas. Tetapi... berbagai pertimbangan masuk akal dan pada akhirnya aku harus memilih surgaku di telapak kaki mama. Tak jauh dari Jakarta. Sejak saat itu, aku paham... aku harus mencari yang dekat."
Suara sang gadis agak tercekat. Berhenti sejenak, mengambil nafas untuk melanjutkan.
"Kukira, sampai di sana saja hal yang harus kusadari. Tapi ternyata... masih ada kejutan besar menantiku. Aku kembali dihadapkan, memilih karir sebagai aktualisasi diri ataukah keluarga yang hanya sekali dalam hidup kumiliki. Berkali, aku merasa masih bisa normal seperti wanita kota pada umumnya. Hingga mamaku jatuh sakit. Sebuah kesadaran besar menggodam kepalaku. Apakah aku siap untuk kehilangan lagi? Meski sejatinya, aku tak pernah memiliki apa-apa. Kucoba mencari jalan terbaik. Hanya saja, terbaik itu belum tentu baik bagi diri kita. Maka, keputusannya adalah aku harus membaktikan diri dan hijrah secara kaffah. Menyeluruh. Tidak setengah-setengah. Meski godaan kembali ke kota kelahiran semakin banyak. Tuhan seperti sedang mengujiku, dengan memvalidasi niatku. Aku seperti mainannya. Dipantul-pantulkan ke arah yang Tuhan inginkan. Hingga detik ini, aku tak mengerti apakah keputusanku tepat atau kembali emosional seperti kata orang? Tapi, sejak kapan aku peduli kata orang? Toh... mereka tak membantuku saat aku butuh dan susah. Ini hidupku. Mereka hanya bisa mengintervensi, keputusan tetap padaku. Meski ada sebagian diriku berontak dan belum ikhlas..."
Mata sang gadis berkaca-kaca. Lalu hening yang cukup membuat jengah. Hingga hujan memecahnya dengan berkata, "Mari pulang."
Meta morfillah