"Cinta itu sederhana,
Hanya kamulah yang membuatnya rumit."
Itu yang kamu ucapkan kala aku menolakmu.
"Aku mencintaimu, biarlah, itu urusanku.
Bagaimana kamu kepadaku, terserah, itu urusanmu."
Kamu mengatakan kalimat penghibur hati untukku, yang sepertinya kamu
kutip dari sebuah buku. Karena begitu jelas, lukamu terlihat saat
mengatakannya. Hati dan mulutmu tak menyatu. Tapi aku memilih
mempercayainya.
Mengapa?
Mengapa aku membodohi diriku sendiri?
Mengapa aku terkesan menjual mahal?
Mengapa aku menjauh dari sebentuk cinta yang kamu tawarkan?
Mengapa, mengapa, dan mengapa lainnya?
Bilang saja aku naif, munafik dan pengecut.
Aku terlalu sibuk menjaga perasaan dan hati-hati lainnya. Hingga
lupa bagaimana membahagiakan hatiku. Begitu pun padamu. Aku terlalu
takut menyakitimu. Padahal, tanpa sadar, perubahan perilakuku, sikap
menghindarku justru menyakitimu.
Lantas, benarkah cinta sesederhana yang kamu bilang?
Jika cinta begitu membuatku rumit?
Benarkah cinta sesederhana hujan yang luruh ke bumi?
Benarkah cinta sesederhana tarikan nafas kita?
Benarkah cinta sesederhana tawa anak kecil, atas hal-hal yang bahkan tidak lucu?
Benarkah sesederhana itu?
Beritahukan letak kesederhanaannya padaku. Bentuk dan sudut-sudutnya
yang membuatnya sederhana bagimu. Sebab bagiku, ini begitu rumit.
Atau, memang akulah kerumitan itu?
Meta morfillah
No comments:
Post a Comment