(Mungkin) cinta pertama anak laki-laki adalah ibunya. Pun sebaliknya.
Cinta pertama anak perempuan adalah ayahnya.
Tentunya tidak dalam
arti harfiah. Itu sih pemikiran asal saya saja. Hanya karena mereka (mungkin)
lawan jenis pertama yang dikenali saat membuka mata. Sentuhan pertama dari
lawan jenis pun dimulai oleh mereka. Sifat-sifatnya, yang diidamkan sebagai
idola, karena ia adalah role model pertama yang kita kenali, bukan?
Semua anak lelaki,
akan mendambakan pendamping yang mampu memanjakan seperti ibunya, mendukung
sepenuh hati tanpa pamrih, selalu ada dan siap memberikan pelukan dan
meminjamkan telinganya. Pun semua anak perempuan, akan mendambakan sosok
pendamping seperti ayahnya, yang melindungi, memberikan rasa aman, dan membuatnya
merasa menjadi perempuan tercantik dan teristimewa.
Tapi itu adalah
impian. Terpenuhi atau tidaknya belum diketahui. Bila terpenuhi, mungkin itu
sebuah anugerah. Bila tidak, belum tentu sebuah musibah. Mungkin saja, Tuhan
ingin memberikan warna dalam kehidupan kita. Celupan warna yang berbeda, yang
membuat kita saling mengenal dan menyadari ada tipikal-tipikal manusia tertentu
yang unik. Tidak pernah terbayangkan sebelumnya.
Tidak harus kamu
memudarkan cirimu hanya untuk menjadi dia yang diinginkan oleh pasanganmu. Jangan!
Tidak semua hal harus kamu tiru. Tentunya akan lebih bijak, bila kamu mampu
menentukan warnamu sendiri, diperkaya warna lain yang indah, yang mampu kamu
petik dari manusia lain. Tapi, jangan pernah melunturkannya, hanya karena
omongan-omongan orang lain yang membisingkan gendang telingamu. Proses pencapaian
ini, tak pernah dikatakan mudah. Namun selalu ada caranya. Selalu. Belajar dari
kesalahan. Belajar dan terus belajar.
Sama seperti rindu.
Tidak
semua rindu itu harus dikatakan. Lebih banyak yang sebaiknya disimpan dalam
diam; apalagi jika rindu tersebut dalam bentuk hubungan yang tidak sesuai rambu-rambu
agama.
Semoga dengan menahan diri, besok lusa diberikan kesempatan terbaik dalam cara yang baik menyampaikannya.
*Darwis Tere Liye
Semoga dengan menahan diri, besok lusa diberikan kesempatan terbaik dalam cara yang baik menyampaikannya.
*Darwis Tere Liye
Tak bosan, saya mengatakan untuk wanita
(khususnya). Bukan mengajarkan pasif, namun Anda akan tampak lebih anggun bila
mampu menahan diri. Mencintai dalam diam, bukan berarti pasif. Tapi menahan,
seperti berpuasa. Menunggu waktu berbuka. Lalu menderaskan rindu itu pada
tempatnya. Bila dia bukan takdirmu, maka kamu akan terselamatkan dari rasa
malu. Maka mencintailah dalam diam, patah hati dalam diam, lalu pulih dalam
diam.
Ah… ini ceracauan pagi saya. Entah mengapa,
saya ingin sekali membahas perihal cinta dan rindu. Melankolia yang melambatkan
butir darah. Ah… maafkan saya, apalah arti kata-kata saya yang belum mengerti
perihal mencintai dan dicintai ini.
*di sudut ruang lantai satu*
Meta morfillah
No comments:
Post a Comment