Pages

21 September, 2015

Hujan dan Kenangan

21 september 2015

Tepat pukul tiga menjelang senja, hujan datang. Akhirnya ia pulang ke kotanya. Mungkin, ia sudah lelah akan perjalanannya. Atau mungkin, ia teramat rindu pada kota yang melekat dengan namanya, Kota Hujan.

Persis sebuah orkestra, hujan datang diawali gerimis ritmis nan romantis. Tak lama, mati listrik. Kegelapan menyelimuti pandangku. Akhirnya kuseretkan langkahku ke teras depan demi mengais cahaya, melanjutkan ritual membacaku. Tapi sepertinya, aku harus menangguhkan niat kembali. Sebab hujan meminta perhatian. Ia tidak lagi membelai syahdu, malah membuat sebuah pertunjukan. Tingkah hujan semakin menghentak, liar, deras. Angin diajaknya bersekongkol mencipratkan titik air di mukaku.

Kini kuperhatikan saksama sudut di bekas pohon pepaya yang kini telah ditebang. Sebuah bangku berkaki patah yang kosong, menampung rinai hujan. Perlahan, aku terbius aroma petrichor dan kuasa hujan yang membahkan kenangan. Bangku itu. Seakan ia menatapku lamat-lamat... menegur kesendirianku. Mengingatkanku padamu. Pada langkah-langkah yang kuambil jauh di depanmu. Sebab, aku tak ingin tertinggal di belakangmu dan menelan bulat-bulat punggungmu. Punggung yang kuharapkan menjadi sandaran.

Hujan... kaumenyebalkan bila sudah memulai tarian mistismu ini! Mengapa kauselalu identik dengan kenangan dan sendu?

Meta morfillah

No comments:

Post a Comment

Text Widget