Pages

05 December, 2013

Selamat Hari Disabilitas

3 Desember 2013
Selamat Hari Disabilitas Internasional!


SEJAK ditetapkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada 1992, maka sampai saat ini, setiap 3 Desember kita memperingatinya sebagai Hari Penyandang Disabilitas Internasional. Peringatan ini bertujuan untuk mengembangkan wawasan masyarakat akan persoalan-persoalan yang terjadi berkaitan dengan kehidupan para penyandang disabilitas dan memberikan dukungan untuk meningkatkan martabat, hak dan kesejahteraan para penyandang disabilitas. Pemakaian istilah disabilitas adalah pengganti dari istilah cacat untuk mengurangi diskiriminasi di tengah-tengah masyarakat.

Saya cukup senang menanggapi adanya suatu hari yang “menyadarkan” kita tentang pentingnya keberadaan mereka yang disabilitas. Memang masih banyak yang harus dipelajari bangsa ini, terkait bagaimana memperlakukan mereka yang disabilitas dan tidak mendiskriminasikannya. Saya sendiri mengalaminya. Bukan saya yang disabilitas, melainkan uda (kakak laki-laki) saya. Usianya sudah 30 tahun, namun tingkahnya seperti anak kecil. Kalau dilihat sekilas dari wajah memang terlihat normal, namun sebenarnya tidak.

Kejadiannya selalu terjadi di angkutan umum, seperti kereta api dan mikrolet. Sering sekali petugas memperlakukannya dengan kasar, menyangka dia normal dan menyuruhnya jauh-jauh dari saya dan penumpang wanita lainnya (apalagi kalau kami sedang melintasi area wanita). Kadang saya agak kesal juga, ingin memaki petugas itu. Apakah ia tidak memiliki mata? Melihat saya menggandeng tangan uda saya dengan begitu khas, melihat gelagat uda yang “luar biasa”. Yaah… sepertinya masyarakat kita masih perlu belajar “membaca”, tidak sekadar buku melainkan juga “membaca” keadaan sekitar—semacam kepekaan lingkungan. 

Isu lain yang menarik adalah seringnya penyandang disabilitas sudah sekolah setinggi mungkin, pintar namun tidak dapat bekerja selayaknya orang normal. Hal ini terjadi pada dua teman dekat saya. Saya sendiri heran, pekerjaan yang ia lamar berkaitan dengan otak, dan otak teman saya itu encerr banget! Tapi ia ditolak hanya karena dibilang nanti susah mobilitasnya (teman saya ini disabilitas karena kakinya yang tidak sempurna). Lalu yang diterima teman saya yang normal dan setelah beberapa bulan saya tanyakan padanya, tidak terlalu mobile pekerjaannya. Memang alasan saja, perusahaannya belum mau menerima yang disabilitas. Huff… entahlah, semoga tidak semua perusahaan sepicik itu.

Yang ingin saya tekankan pada tulisan kali ini adalah, saya bersyukur memiliki salah seorang malaikat “luar biasa” dalam keluarga saya. Dari uda, saya belajar banyak tentang kesabaran, keterbatasan, hingga kesempurnaan dari dirinya yang tidak sempurna. Uda menyadarkan saya betapa saya harus bersyukur, memiliki orang tua yang mau menerima dan memperjuangkan segala yang terbaik bagi anak-anaknya—khususnya uda saya ini—dan mengikhlaskan segala hal yang belum teraih saat ini. Saya merasa istimewa, diperkenankan Tuhan untuk menjaganya. Tidak semua manusia mendapatkan kesempatan ini. Memang pada awalnya, ketika saya masih kecil saya menganggapnya beban. Bahkan ketika ia sedang tantrum (ngamuk), sering kali saya dijadikan pelampiasan. Luka cakaran kukunya yang dalam, hingga kini masih berbekas di pipi saya—kalau kata orang yang melihatnya, luka itu membuat saya mirip Naruto versi cewek. Tapi setelah SMK, saya mulai menyadari, itu bukanlah kesalahannya. Ketika ia kesakitan, sedih, ia tidak mampu mengungkapkannya dengan cara yang normal sehingga itulah yang menyebabkan ia tantrum. Dan orang terdekat yang selalu ada di sampingnya saat itu adalah saya, sehingga sayalah yang sebenarnya “dimintai tolong”, namun yang terjadi adalah terlihat ia menyakiti saya. Sebenarnya ia sedang mengadu, meminta tolong.

Seiring usia bertambah, semakin saya memaknai banyak hal yang ingin disampaikan uda saya. Ia begitu luar biasa, istimewa. Bayangkan saja, bila saya menyetel lagu-lagu barat, latin atau pun daerah—yang kadang saya tak mengerti artinya—ia mampu mengapresiasinya. Ia menangis, atau tergelak. Hingga membuat saya penasaran, lalu saya googling dan saya terhenyak. Lagu yang membuat matanya memerah, hingga hidungnya beringus karena menangis, ternyata memang memiliki arti yang ‘dalam’ dan menyedihkan. Pun lagu yang membuatnya tergelak, itu memang lucu sekali, namun disampaikan dalam bahasa daerah—Bahasa Padang. Nah, bukan berarti dia tak cerdas toh? 

Saya masih takjub, begitu banyak keajaiban yang saya amti pada dirinya akhir-akhir ini. Dari mana ia belajar tentang begitu banyak bahasa, sedangkan berbahasa normal saja ia tak bisa? Lalu seringnya ia mengacak rak buku saya, dan ia benar-benar membacanya. Hapal mana halaman yang ia baca kemarin. Ya tuhan, sungguh hebat penciptaanMu!

Dari ketidaksempurnaan, saya belajar tentang kesempurnaan.

Itulah… yang saya rasakan pada mereka yang disabilitas. Guru pertama saya, tentulah uda saya terkasih. Lalu saudara sepupu saya yang down syndrome, dan murid-murid saya yang selalu membuat rindu.

Selamat hari disabilitas! Kehadiran kalian di dunia ini bukanlah kesalahan, melainkan peringatan bagi kami makhluk pengeluh dalam kesempurnaan!

With love,
Meta morfillah

No comments:

Post a Comment

Text Widget