Pages

05 December, 2014

Begini, cara kita merayakan perpisahan. Dengan menuliskannya :)

Gambar diambil dari sini


Aku pernah mengalami perpisahan, dan kali pertamanya kutinggalkan dia menangis. Aku dalam posisi meninggalkan, dan dia yang ditinggalkan. Sakit, melihat dia menangis. Tahu, bagaimana rasanya menyakiti orang yang kamu cintai? Tapi harus kulakukan, sebab ada yang lebih bermakna ketimbang cinta itu, saat itu.

Belajar dari pengalaman itu, aku selalu membuat kalimat perpisahan yang menyenangkan. Berapa kali, kuhadapi situasi di mana harus aku yang memutuskan meninggalkan. Atau menolak. Sungguh, itu tak mudah. Terlebih bila kamu memang cinta, atau masih cinta.

Memang, hubungan-hubungan itu tak berubah. Tak rusak, meski butuh waktu agak lama untuk kami saling menghindar. Tepatnya, dia yang menghindar, menjauh. Sebab, aku kembali pulih dengan cepat. Sebab, mungkin mereka jauh lebih terluka. Dan luka itu, aku yang menanamnya.

Kali ini, kali pertama kurasakan perpisahan yang berbeda. Aku tahu, kembali harus aku yang memutuskan. Tapi ini lebih perih. Sebab, bukan pada kami. Dia atau diriku. Tapi, orang lain yang jauh lebih mencintainya. Orang yang rela mengorbankan nyawanya demi dia. Meski ingin kupaksakan, hati kecilku tak kuasa. Manalah bisa? Bila impianku juga menjadi seorang ibu yang dicintai anaknya. Manalah bisa, aku menyakiti seorang ibu? Tiga hari, kuhabiskan dalam tangis. Menangisi situasi, kondisi, dan hal lain di luar kuasaku. Aku tak menggugat Tuhan, atau pun menyalahkan keadaan. Sebab, kutahu… itu semua hal sia-sia. Pagi, saat berangkat dan sepanjang perjalanan, aku menangis dalam diam. Sembari merenung, tentunya. Malam, setelah lelah fisik dan hatiku, aku menangis kembali. Sulitnya, ada mama yang tertidur di sampingku… sehingga aku mematikan lampu dan air mataku mengalir tanpa suara. Kautahu, menangis tanpa suara itu jauh lebih menyesakkan dibandingkan menangis meraung-raung. Bukan lega yang kudapat, tapi semakin sesak. Tiga hari seperti itu. Hingga air mataku kering, dan aku terlalu lelah untuk menangis.

Lalu, tibalah harinya aku harus mengucapkan kata itu. aku berharap sekali, kali ini saja, bukan aku yang mengucapkan kata itu. Untuk kali pertamanya, aku lebih memilih ditinggalkan. Tapi, kenyataan memosisikan bahwa akulah penentunya. Kalimat yang sudah kusiapkan baik-baik, tak satu pun keluar. Yang ada, aku hanya tertawa. Menertawakan kesedihan yang kulalui tiga malam sebelumnya. Menertawakan kehidupan yang kian lucu. Lalu, setelah hening yang panjang, kita selesai. Dalam tawa, dan sedikit guyonan agar tak menggantung diri, lalu ditutup ucapan hati-hati di perjalanan pulang. Selesai begitu saja. Semudah itu melepaskan. Legaaa…. Meski ada nyeri di dada.

Terima kasih, pernah hadir dan memperjuangkanku dengan kesungguhanmu.

Maaf, bila aku tak sengaja menyakiti.

Tolong, tetaplah berhubungan baik denganku. Kunjungi aku, meski kita tak akan berada di bawah atap rumah yang sama. Tapi, masih bisa berteman, kan?

“Only know you love her, when you let her go…”


Meta morfillah

No comments:

Post a Comment

Text Widget