Pages

28 November, 2013

Ingatan terkadang seperti kutukan

Diambil dari sini
Ingatan terkadang seperti kutukan.

Menyiksamu perlahan dan sulit dilepaskan dari kepalamu. Ia melekat erat di kulit pikiranmu. Terutama untuk kenangan yang menyedihkan, menyakitkan yang menyebabkan aktivitas neuron dalam otak kita menjadi lebih cepat dan menimbulkan jejak-jejak kenangan (memory trace) yang lebih kuat dan dalam ketimbang kenangan yang menyenangkan. Seringkali kita lebih mengingat perlakuan buruk seseorang kepada kita daripada kelakuan baiknya kepada kita. Mungkinkah itu membuktikan bahwa melupakan itu lebih sulit daripada mengingat, terutama melupakan hal-hal yang menyakitkan bagi diri kita. Kita tidak mungkin lupa dengan nama kita. Kita tidak mungkin lupa dengan nama ibu kita. Kita bahkan akan mengingat semua itu tanpa sadar, karena berhubungan dengan kehidupan kita. Lalu cobalah kita memaksakan untuk melupakannya, apa yang terjadi? Tidak bisa kan? 

Itulah, terkadang ingatan bisa menjadi sebuah kutukan. 

Kau akan jauh lebih sulit melupakan, memaksa ingatanmu hilang. Semakin dipaksa, semakin kau ingat bukan? Menyusuri jalan yang pernah dilalui, menelusuri cerita yang pernah dirangkai, menyentuh, mencium, melihat, merasakan apa yang terbiasa dikenali panca inderamu. Dilematis.
Maka sebaiknya, tidak usah berupaya keras melupakan, melainkan cobalah berdamai dengan kenangan itu. Tarik napasmu dalam-dalam, embuskan perlahan, kurangi durasi melupakan atau pun mengingat, lalu kenangan itu akan terkubur perlahan di sudut otakmu. Tertumpuk bersama kenangan lain, hingga menyerupai debu.

Ingatanmu perlahan mengabu, menjelma serpihan-serpihan.

Meta morfillah

27 November, 2013

1 jam saja

Suatu hari seorang anak kecil datang kepada ayahnya dan bertanya, “Apakah kita bisa hidup tidak berdosa selama hidup kita?”.

Ayahnya memandang kepada anak kecil itu dan berkata, “Tidak, nak”.

Putri kecil ini kemudian memandang ayahnya dan berkata lagi, “Apakah kita bisa hidup tanpa berdosa dalam setahun?”

Ayahnya kembali menggelengkan kepalanya, sambil tersenyum kepada putrinya.

“Oh ayah, bagaimana kalau 1 bulan, apakah kita bisa hidup tanpa melakukan kesalahan?”

Ayahnya tertawa, “Mungkin tidak bisa juga, nak”.

“OK ayah, ini yang terakhir kali, apakah kita bisa hidup tidak berdosa dalam 1 jam saja?”.

Akhirnya ayahnya mengangguk, "Kemungkinan besar, bisa nak dan kasih Tuhanlah yang akan memampukan kita untuk hidup benar".

Anak ini tersenyum lega. 

"Jika demikian, aku akan hidup benar dari jam ke jam, ayah. Lebih mudah menjalaninya, dan aku akan menjaganya dari jam ke jam, sehingga aku dapat hidup dengan benar...."

Pernyataan ini mengandung kebenaran sejati.

Marilah kita hidup dari waktu ke waktu, dengan memperhatikan cara kita menjalani hidup ini.

Dari latihan yang paling kecil dan sederhana sekalipun, akan menjadikan kita terbiasa, dan apa yang sudah biasa kita lakukan akan menjadi sifat, dan sifat akan berubah jadi karakter, dan karakter akan menjadi takdir.

Hiduplah 1 jam :

* TANPA kemarahan,
* tanpa hati yang jahat,
* tanpa pikiran negatif,
* tanpa menjelekkan orang,
* tanpa keserakahan,
* tanpa pemborosan,
* tanpa kesombongan,
* tanpa kebohongan,
* tanpa kepalsuan...

Lalu ulangi lagi untuk 1 jam berikutnya.. .

Hiduplah 1 jam

dengan kasih,
dengan sukacita,
dengan damai sejahtera,
dengan kesabaran,
dengan kelemahlembutan,
dengan kemurahan hati,
dengan kerendahan hati,
dengan penguasaan diri...

Dan ulangilah untuk 1 jam berikutnya.. .

Jalanilah kehidupan yang berkenan kepada Tuhan, dengan menjalaninya dari waktu ke waktu, dari 1 jam ke jam berikutnya..


But the fruit of the Spirit is love, joy, peace, patience, kindness, goodness, faithfulness, gentleness and self-control.

26 November, 2013

Gumaman Kelabu

Dear B,

Really miss you! Agak sesak beberapa hari ini sampai sulit meluangkan waktu untuk menulis di dirimu. Yah.. kamu tahu kan, kondisiku yang sedang labil dan jet lag. Terutama hari ini. Oh, my Allah… terima kasih banget sama Qur’anku yang setia mendampingi dan memberiku senyuman. Entah pada siapa lagi aku mengadu. Aku bukan orang pertama yang mengalami hal ini. Yess… aku masih merasa ini semua mimpi. Masih (akan) terus mengeluh hal yang sama padamu, B! Masih tentang hal yang sama, yang amat membosankan bagimu. Masih tentang kepengecutanku dan kenyataan dalam dunia karir yang kutapaki. 

Hari ini saja, pukul 10.30 ketika seniorku tidak menunjukkan tanda-tanda kehadirannya, aku mulai gelisah. Diam dan hanya bisa berzikir, semoga orang-orang yang menemaniku akan masuk kerja. Namun hujan dan angin menyampaikan berita duka. Mereka tak datang. “Oh Tuhan, tapi aku tidak boleh merasa sendiri. Aku memilikiMU, Tuhan” demikian aku mensugesti diriku agar kuat walau sesak rasanya. Imajinasiku mulai liar, membayangkan seperti inikah bila seniorku benar-benar meninggalkanku sendirian?

Tiga orang baru, amanah berat bagiku. Kualitas kepemimpinanku yang belum pernah tampak (atau mungkin memang tidak ada?) diuji. Intonasiku menghadapi salah seorang yang lebih tua dan sering kali bertanya yang tidak kumengerti, diuji. Bahasa tubuhku menanggapi komplain dan request proposal serta silabus yang harus instan (hari ini jadi) serta tidak sesuai SOP (60 hari), diuji. Kecerdasan emosionalku sungguh diuji hari ini. Entah mengapa, rasanya ingin kuputuskan saluran telepon di meja kerjaku. Telepon itu serasa anak panah yang melesat menuju padaku semuanya. Sedang sisi dalam diriku semakin mengerdil. Ketidakpercayaan diriku begitu tamak menguasai pikiran. 

APA YANG HARUS KULAKUKAN?

Pada akhirnya aku melarutkan diri pada kata-kata yang menari dari jariku, melahirkan proposal demi proposal, desain demi desain dan tenggelam dalam earphone yang melantunkan nasyid. Nasyid yang mencoba mendongkrak arti diriku, membesarkan makna diriku yang bagai debu di jagat semesta ilahi. Saat aku menuliskan ini, kondisi ruangan telah sepi. Tinggal aku… meresapi malam sembari menatap papan di hadapanku, dengan pikiran melayang dan terngiang kata-kata orang terkasihku.



“Teta pulangnya lebih malam daripada kerja dulu. Mendingan teta ngajar lagi deh. Jadi bisa main lagi sama aku.” –Galih, 9 tahun-

“Teta kerja mulu, terus hari minggu ke bogor. Main sama aku kapan?” –Zahir, 5 tahun-

“Met, lo pergi kerja kuntilanak belum bangun. Pulang kerja, kuntilanak udah pules. Kagak capek apa?” –kakak perempuan satu-satunya, 33 tahun-

“Met, jaga kesehatan. Kerjaanmu itu mikir, lebih banyak gizi yang dibutuhkan. Ingat kata dokter! Makan yang banyak, jangan sering pulang malam. Jam 5 teng kamu langsung pulang, yaa.” –Mama- 

“Met, kamu cari kerja lain gih. Di Bogor aja sana. Kasihan mas lihat kamu kerja capek banget. Nanti kalau nikah, gimana urus suami sama anaknya? Kapan istirahatnya?” –Kakak Ipar satu-satunya, 35 tahun-

Lalu suara-suara itu tertelan gaungnya, ketika sesuatu yang kukenal sejak aku lahir berkata,
“STOP! Ini hidupku. Aku bisa, aku tak pernah mengeluh pada kalian. Jadi biarkan aku berdikari. Berdiri di atas kaki sendiri. Orang lain hanya boleh tahu aku bahagia, yang tahu isinya cukup aku dan Tuhanku saja.”

Lalu semuanya berakhir.
Mengabu. Kelabu.
Seperti senja sore tadi,

Meta morfillah


22 November, 2013

Dear, Seniorita Petualang



Hari perpisahan telah tiba. Perayaan kedua kali yang hanya berselang dua bulan setelah perayaan pertama. Senin nanti, ketika saya menolehkan kepala ke belakang, ke meja dengan telepon ext 124 tidak akan ada lagi wajah ceria itu. Senior wanita, rekan kerja dan partner travelling yang baru saja saya kenal beberapa bulan belakangan. Belum mengenalnya terlalu dalam, baru sempat sehari menginap di rumahnya, bertemu keluarga intinya, tapi saya sudah sayang. Terlalu mudahkah saya menyayangi orang yang baru saya kenal? Hmm…, tidak juga. Saya sendiri bingung, kenapa bisa sedahsyat ini dampaknya bagi saya. Hingga kamis lalu, saya sempat cemberut seharian dan melakukan aksi diam hanya karena membaca email dari bos saya yang menanggapi surat resignnya. Maaf ya, Kak. Tidak ada maksud apa pun, tidak ingin pula membuatmu merasa bersalah atau gamang, namun memang kondisi saya sedang tidak stabil hari itu hingga saya memutuskan untuk menyepi dan membolos kerja esok harinya. Semoga kakak dapat memahami dan sedikit memaklumi kelabilan saya.

Kembali ke bayangan saya di hari senin nanti. Tidak akan ada lagi wajah bulat yang ceria, yang selalu membawakan kami makanan yang disiapkan oleh ibunya—namun malah kami yang menghabiskannya, hahaa—setiap pagi. Tidak akan ada lagi sosok wanita yang tangguh mencari tiket di sela kerjanya dan menceritakan keindahan tempat-tempat yang dia eksplor hingga membuat kami iri dan menyarankan ia untuk menjadi guru geografi—saking pintarnya ia menerangkan tempat-tempat itu hingga terbayang nyata di hadapan kami.

Ada sedikit pemikiran bodoh dari saya. Saya membayangkan, apa yang akan terjadi bila saya tidak menyetujui pertukaran meja kita dahulu? Apakah mungkin kakak akan masih bertahan di sini dan sayalah yang pergi meninggalkan kantor ini? Haha…, yah sedikit bernegosiasi dengan takdir. Berharap pertukaran meja kitalah penyebabnya dan saya bisa memutarbalikkan takdir dengan menukarnya kembali, ke tempat semula.

Akhirnya, saya hanya bisa mengucapkan maaf terdalam dari lubuk hati yang paling dalam atas perilaku, kata-kata atau pun sikap saya yang mungkin pernah menyakiti, baik sengaja atau pun pura-pura tak disengaja, hehe. Dan terima kasih banyak telah hadir dan memberi warna di hidup saya. Saya berdoa semoga yang terbaik yang akan kakak dapatkan. Inilah saya, yang berbeda saat bertemu dan berbeda saat bicara melalui tulisan. Saya memang belum mampu mengekspresikan diri saya dengan baik dan benar.

Semoga sukses, Kak Oche!

peluKiss,
adikmu yang manja,

meta morfillah

21 November, 2013

[Cerbung] Rumah Nomor 22 -part 2-



Jadwal Piket

“Duh, berantakan sekali!” keluh Malud saat ia melihat keadaan ruang tamu yang berserakan kertas warna bekas prakarya Laya yang belum dibersihkan. Sebagai lelaki, Malud adalah pribadi yang agak cerewet mengenai kerapian. Gadis, Tria dan Zou yang sedang asyik menonton televisi di ruang tengah menolehkan kepala mereka serentak mendengar keluhan Malud. Mereka melihat Malud cemberut sambil merapikan kertas yang berserakan tersebut.
“Kayaknya kita harus bikin jadwal piket deh!” ujar Malud sekembalinya dari membuang kertas tersebut ke tempat sampah di teras depan.
Gadis, Tria dan Zou saling melirik.
“Nanti malam kita adakan rapat ya, saat semuanya sudah kumpul. Nanti aku wasap si Zaladi. Biar dia atur rapatnya,”
Gadis, Tria dan Zou hanya mengangguk patuh. Sepertinya Malud sedang lelah, hingga ia jadi lebih banyak bicara dari biasanya.
***
Seusai makan malam, Zaladi mengumpulkan semua penghuni kamar di rumah nomor 22 tersebut. Atas permintaan Malud, maka dibuatlah sebuah rapat di ruang tengah. Walau agak lelah dan ingin cepat masuk kamar untuk tidur, Gadis tetap mengikuti rapat tersebut karena ia sekarang merupakan bagian dari mereka.
“Assalammu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh,” ujar Zaladi membuka rapat.
“Walaikumsalam warahmatullahi wabarakaatuuhh,” terdengar koor kompak suara seluruh penghuni rumah.
“Teman-teman, maaf sebelumnya saya sudah menyita waktu kalian demi rapat ini. Tapi ada hal penting yang harus kita bicarakan mengenai masa depan rumah kita, tsaahh…,”
“Eaaa…, rumah kita,” ujar Setyo menimpali perkataan Zaladi yang agak merayu dengan gaya kemayunya yang dibuat-buat sehingga menjadi lucu.
“Woy, fokus woy!” ujar Jaslim dengan tegas.
“Iya, maaf.”
“Nah, jadi berdasarkan keluhan Malud dan beberapa keluhan penghuni lainnya juga sih, seperti Gadis, Jaslim, Tria dan Zou tentang kerapian dan kebersihan rumah kita, sepertinya kita harus menggalakkan jadwal piket seperti di jaman sekolah dulu. Bagaimana?”
“Setujuu…,” koor Jaslim, Gadis, Tria, Zou dan Malud. Sedangkan sisanya mengangguk-angguk menyetujui.
“Nah, biar adil kita voting aja namanya ya. Di sini kan ada enam belas orang. Nah dibagi tujuh hari berarti sekitar dua orang per hari. Nah, sisanya dua orang kita tempatkan di hari Sabtu dan Minggu. Karena weekend gitu biasanya kan semua pada di rumah soalnya jomblo,” ujar Zaladi tersenyum.
“Yeee… enak aje, gw ngapel tiap malam minggu. Sori bro, gw gak bisa hari Sabtu,” ujar Setyo.
“Kurang asem, Zal,” timpal Zou.
“Lo doang kali yang jomblo, Zal,” ujar Jaslim disambut anggukan seluruh penghuni rumah disertai berbagai komentar mereka masing-masing sehingga suasana langsung ramai dipenuhi tawa.
“Hahaha…, iya iya. Pada gak mau ngaku jomblo padahal mah emang jomblo. Gak ada yang diapeli atau pun ngapelin. Eh udah, langsung voting aja. Siapa yang mau ngisi di hari apa gitu. Misalnya kayak Setyo tadi, gak mau di hari Sabtu,”
“Yah, jangan gitu dong. Dikocok aja, biar adil. Tar pada gak mau milih hari Sabtu atau Minggu, njur kudu piye?” ujar Tina memberi usul.
“Hmm… iya juga, betul tuh kata Tina,” Fauzi menimpali. Asal tahu saja, Fauzi ini menyimpan rasa suka pada Tina, sehingga apa pun yang Tina katakan ia pasti mendukung dan mengiyakannya.
“Iya, aku juga setuju usul Tina,” ujar Laya.
“Ya, Zal. Dikocok aja biar pada terima. Mau gak mau itu udah tanggung jawab. Kalau pun memang gak bisa di hari itu nantinya, coba ditukar jadwal aja. Masak iya sih nggak bisa terus-terusan. Lagian piket kan gak seharian juga, pun ngapel,” cengir Gadis sembari melirik Setyo.
“Hahaha…, iya dah. Ikut aturan dah,” ujar Setyo.
“Oke, kalau gitu kita kocok yaaa…, tolong dong buatin kocokannya, Senin sampai Jumat ditulis dua kali. Sabtu dan Minggu ditulis tiga kali,” ujar Zaladi.
Foren dan Ilma berinisiatif membuat kocokan tersebut. Tidak sampai lima menit, nama-nama hari itu telah tergulung di sebuah kertas dan siap dikocok.
“Oke, langsung bagikan saja dan semua ambil satu per satu. Jangan dibuka dulu sebelum aku suruh buka,” ujar Zaladi.
Dyani langsung maju dan membagikan kocokan tersebut ke seluruh penghuni rumah. Saat semua sudah memegang undian, Zaladi berkata “Laya, tolong catat hasilnya ya. Nanti pindahkan ke Microsoft Word lalu diprint dan ditempel. Nah, sekarang dimulai dari aku ke kanan, sebutkan nama hari kalian. Boleh dibuka sekarang,”
Serentak mereka membuka gulungan kertas mereka masing-masing.
“Gw Senin,” ujar Zaladi.
“Aku Kamis,” ujar Malud.
“Aku Kamis juga. Wah, kita jodoh, Mal!” ujar Zou seakan ingin memeluk Malud, namun ditepiskan Malud yang merasa geli dengan tingkah Zou.
“Hahaha…, aku Minggu,” ujar Fauzi dengan penekanan di huruf ‘g’ ketika mengucapkan ‘Minggu’ karena logat Malangnya.
“Gw Jumat. Alhamdulillah, malam minggu gak disuruh piket, hahahah.” Setyo terbahak sendiri, sementara yang lain menggelengkan kepala melihat ulahnya.
“Gw Sabtu,” sahut Jaslim.
“Rabuuu,” ujar Gadis.
“Minggu,” ujar Tria.
“Aku Minggu juga. Yess, ada Tria yang rajin. Aku bagian mandor aja, hahaha,” ujar Fathia dengan logat khas bataknya.
“Enak aja, kerja juga kamu,” ujar Tria sambil mencubit pelan Fathia yang tertawa.
“Aku Sabtu, bareng Kak Jaslim,” ujar Foren.
“Aku juga. Sabtu,” ujar Dyani.
“Pas banget tuh, cewek jomblo semua…, ADAWW!!” celetuk Setyo yang kemudian dijitak oleh Jaslim.
“HAHAHA…, rasain,” ujar Fathia terbahak.
 “Aku Jumat,” ujar Via sembari tersenyum.
“Yess, bareng Kak Via. Setidaknya ada cewek yang lebih ngerti caranya bersihin rumah, hahaha…,” ujar Setyo disertai cengiran tengilnya.
“Dasar playboy!” sahut Laya dengan logat Makassarnya.
“Aku Senin,” ujar Naita.
“Wah, kita berjodoh, Naita. Semoga dengan adanya piket ini, kita mampu belajar merapikan rumah tangga kita nanti, ya,” ujar Zaladi dengan gaya playboy cap kabelnya.
“Hweekk…,” Laya, Gadis dan Jaslim meniru pose orang mau muntah mendengarnya.
“Iya ya, Zal,” Naita menimpali.
“Issh,, kalian ini bikin eneg aja,” sahut Laya namun dengan wajah tersenyum.
“Aku Selasa,” ujar Tina.
“Aku Rabu, bareng Kak Gadis,” sahut Ilma.
“Terakhir aku, ya. Aku hari Selasa,” ujar Laya.
“Coba dibacakan ulang jadwalnya, Laya,” pinta Zou.
“Oke. Jadi hari senin itu jadwalnya Zaladi dan Naita. Selasa, Tina dan aku. Rabu, Kak Gadis dan Ilma. Kamis, Malud dan Zou. Jumat, Setyo dan Via. Sabtu, Kak Jaslim, Dyani dan Foren. Minggu, Fauzi, Tria dan Fathia. Ada yang belum kesebut? Atau salah? Protes sekarang, biar langsung aku betulkan,”
“Sudah benar semua, Laya. Terima kasih,” ujar Gadis.
“Oke, kalau begitu. Besok jadwal ini akan ditempel oleh Laya dan mulai dijalankan yaa. Berarti besok yang bertugas adalah Malud dan Zou. Selamat. Rapat saya tutup dengan hamdalah,” ujar Zaladi.
“Alhamdulillaah,” serempak semua mengucap hamdalah.
“Selamat beristirahat semuaanyaa,” ujar Gadis.
Jam di dinding telah menunjukkan pukul 21.00 WIB, mereka pun membubarkan diri. Sebagian langsung menuju kamarnya, sebagian masih ada yang asyik mengobrol di ruang tengah. Gadis merasa lelah karena harus berangkat pagi besok, maka ia langsung masuk ke kamarnya. Tidak sampai lima menit, ia sudah pulas menuju lautan mimpi.

(bersambung)
Meta Morfillah

20 November, 2013

Kopi dan Kepribadian Peminumnya

Melihat kepribadian seseorang melalui pilihan kopinya. Hmm... Let's see

Sudah banyak cerita yang terinspirasi dari kopi. Bahkan tak jarang kehidupan, kisah cinta hingga kepribadian tokohnya disamakan dengan kopi kesukaannya. Nah, karena saya penasaran, maka saya pun googling mengenai hal tersebut. Ternyata ada seorang psikolog bernama Ramani Durvasula yang mensurvei seribu peminum kopi dikaitkan dengan kepribadian umum dan sifat psikologisnya. Ini artikel tentang hasil survei tersebut:


Berikut hasil survei yang dilakukan Ramani.

Kopi Hitam
Penyuka kopi hitam biasanya orang yang serius dan blak-blakan. Mereka suka kesederhanaan, serta bisa menjadi pribadi yang pendiam dan murung. Terkadang, peminum kopi hitam juga bisa menjadi orang yang spontan, namun cenderung meremehkan orang lain.

Cappuccino
Penggemar kopi dengan tambahan ekstra busa seperti cappuccino biasanya obsesif dan suka memegang kendali. Peminum cappuccino juga sangat perfeksionis dan berorientasi pada detail.

Latte
Latte merupakan campuran kopi dan susu sehingga rasanya manis. Biasanya, orang yang meminum latte memiliki kepribadian ceria dan bersemangat. Mereka rela berkorban demi kesenangan orang lain. Namun, kurang perhatian terhadap diri sendiri.

Frozen and Blended Coffee
Minuman olahan kopi yang bercita rasa manis ini sering diidentikkan dengan orang yang berjiwa sosial tinggi. Mereka sangat peka terhadap lingkungan sekitar, punya selera tersendiri, dan berjiwa muda. Peminum tipe kopi ini juga sering dianggap trend setter. Negatifnya, mereka cenderung sembrono.

Kopi Instan
Peminum kopi instan biasanya seorang pemalu. Jika menghadapi suatu masalah, mereka cenderung santai dan suka menunda sesuatu.

Ramani menuturkan, kepribadian seseorang memang bisa diprediksi melalui tipe kopi pilihan. Namun, survei ini tidak lantas mutlak benar. Seseorang lebih dipengaruhi sifat genetik dan astrologi ketimbang pilihan kopi.

Menarik sekali bukan?

Dari segelas minuman kesukaanmu, kau dapat ditebak. Eh tapi, jangan dijadikan patokan mutlak juga yaa.. karena pada dasarnya manusia adalah makhluk yang kompleks dan dapat berubah sewaktu-waktu. Itulah yang membedakan manusia dengan makhluk lainnya. Ia memiliki akal dan kemauan untuk mengubah arah angin. Bahkan manusia sendiri masih dalam tahap mempelajari dirinya sendiri, terbukti banyak sekali disiplin ilmu yang terkait dengan mempelajari tingkah laku dan tata kehidupan manusia—seperti psikologi, sosiologi, antropologi, filsafat, dll. 

So, baca artikel ini sebagai sekilas info saja, jangan terlalu diseriusi. Karena tidak ada seorang manusia pun yang mampu menilai 100% manusia lainnya.

Meta morfillah

Text Widget